![]() |
Foto: Arifin warga yang memiliki lahan di sekitar area proyek rumah relokasi. |
Kabupaten Bima, TalkingNEWS -- Kehadiran proyek pembangunan rumah relokasi bagi korban banjir Bima senilai Rp. 36 Miliyar di So Lante Desa Tambe Kecamatan Bolo Bima NTB memang menjadi sebuah hal yang menggembirakan. Sebab, para korban banjir beberapa bulan lalu yang kala itu rumahnya terbawa arus bisa mendapatkan rumah baru dari proyek pemerintah Pusat tersebut. (Baca Juga): Lahan Proyek 36 M di Tambe Bermasalah, Sejumlah Pihak Tuding ada Konspirasi Jahat.
Namun di balik proses pembangunan Mega proyek tersebut terselip sederet persolan besar yang dinilai merugikan masyarakat dan bahkan tercium aroma dugaan konspirasi para elit untuk menggerogoti angaran yang fantastik tersebut. Sebut saja, masalah adanya penolakan dari warga Desa Tambe terkait masalah bor Canada, hingga dugaan munculnya sertipikat hak milik pribadi di atas aset daerah (tanah eks jaminan).
Dugaan tersebut diperkuat dengan adanya pernyataan Arifin warga Nggembe yang mengaku memiliki lahan pertanian di sekitar area lokasi proyek tersebut.
Saat dikonfirmasi, pada Kamis (17/6/21) di kantor Camat Bolo, Arifin yang mewakili keluarganya membeberkan bahwa ada beberapa puluhan areal tanah yang disertifikat di atas sertipikat. Beberapa nama pemilik tanah yang disertifikatkan tersebut yakni Dewi Angriani dan Arya Yati. Padahal kata dia, kedua nama tersebut tidak diketahui asal usulnya, bahkan pihaknya telah menelusuri sejumlah warga yang memilki lahan So Lante, dan hasilnya tidak ada yang memiliki nama yang disebutkan tersebut.
Hal ini terjadi, lanjut dia, akibat kacaunya administrasi dari pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bima melalui program LC (land consolidation) beberapa tahun silam, sehingga lokasi tata letak tanah tidak sesuai dengan dokumen yang ada di sertipikat.
Menurutnya, persolan tersebut yang menjadi salah satu pemicu kegaduhan pembebasan lahan untuk pembangunan rumah relokasi banjir yang dimaksud. "Contohnya saya, letak fisik tanah saya ada di area lokasi proyek relokasi, namun secara administrasi (sertipikat) tidak masuk di lokasi proyek. Inikan sudah terlihat kacau," bebernya.
Oleh sebab, dirinya mendesak pihak BPN dan Tatapem Kabupaten Bima untuk segera bertanggungjawab atas persolan yang terjadi, jangan malah melemparkan masalah ke tingkat bawah (Desa dan Kecamatan).
"Dalam hal ini, harusnya BPN dan Tatapem lebih transparan agar tidak mencuat masalah seperti ini. Mereka harus bertanggungjawab dan segera memberikan klarifikasi kaitan soal ini. Jangan malah lempar ke Desa dan Kecamatan," pinta dia.
Terpisah, Kasi Penetapan dan Pemberian Hak BPN Bima M. Hasan, SH yang dikonfirmasi di ruangan kerjanya, Jum'at (18/6/21) menjelaskan bahwa area proyek rumah relokasi tersebut tepat di lokasi program LC beberapa tahun lalu. Dalam kesepakatan kala itu, 20 persen area lahan dipergunakan untuk kepentingan fasilitas umum, bahkan luas tanah yang semulanya misalkan 60 areal tidak serta merta akan utuh, karena secara administrasi letaknya akan tergeser.
Kaitan dengan beberapa sertipikat siluman tersebut, pihaknya mengaku telah melakukan rapat koordinasi dan akan menghapusnya dari hak kepemilikan. "Intinya dua nama itu akan kita hapus," singkatnya.
Sementara soal mencuatnya isu aset daerah yang disertipikat pribadi, dirinya kembali menjelaskan bahwa rentetan persoalan itu dari kasus program LC. Karena masalah dasarnya dalam pembagian lahan waktu itu, ada sisa tanah untuk kepentingan umum (stuk).
"Nah, kemungkinan di sanalah celah oknum aparat desa bermain dan memasukan nama nama yang diinginkannya, sehingga muncul sertipikat tak bertuan seperti contoh kasus yang terjadi di Desa Rasabou Bolo silam. Intinya, prinsip kerja BPN hanya mengeluarkan sertipikat berdasarkan pengajuan dari desa," pungkasnya. (Khan)
Editor: Agus